Kamis, 28 Oktober 2010

Laki-laki Tua Itu Ndorong Troli Pengangkut Tanah

Laki-laki Tua Itu Ndorong Troli Pengangkut Tanah Catatan Wartawan Senior Rakyat Merdeka, Cak Irwan HadisuwarnoJum'at, 29 Oktober 2010 , 09:42:00 WIBMBAH MARIDJAN/IST PAGI-pagi, Senin 12 Juni 2006, Merapi bersih. Saya memandanginya dari jarak 8 kilo meter. Hari itu, serombongan orang bergegas turun. Tapi aktivitas tetap seperti biasa. Dua orang, satu sudah tua, satu lagi masih muda. Mereka, dua laki-laki itu, ikut memandangi Merapi, di belakang saya.“Yo, wes biasa. Ora ono sing aneh (Ya sudah biasa saja. Tidak ada yang aneh).” Penggalan kalimat itu diucapkan oleh laki-laki yang tua, entah menjawab apa.Lama, saya pandangi Merapi yang pucat-pasi. Tubuhnya meranggas, berdebu. Sisi kanan seperti kayu lapuk yang digerogoti rayap. Tapi yang kiri, tampak masih utuh, meski sama-sama memutih-mayat.Dua ibu-ibu melonggok, ikut melihat. Lalu pergi. Angkutan melintas. Serombongan anak-anak SD diangkut, diungsikan ke sekolah lain yang agak jauh dari Merapi. Pagi ini, saya janjian bertemua Mbah Marijan, laki-laki yang sepanjang aktivitas Merapi meningkat, sangat popular, bahkan di tempat jauh dari rumahnya yang mencil di Kinahrejo.Jam sembilan pagi, saya sudah merapat ke komplek perumahan keluarga Marijan. Seorang, agak lusuh (sepertinya baru bangun tidur), menghadang di jalan menanjak. Saya sedang memperhatikan plang nama bertulis juri kunci hargo Merapi. Orang itu menunjuk ke plang, entah maksudnya memberi tahu apa.Memasuki halaman rumah Mbah Marijan, saya melihat laki-laki tua itu sedang mendorong troli pengangkut tanah. Berkaos merah, celana pendek hitam, tanpa alas kaki. Topinya menutup, bukan saja kepala tapi sebagian wajahnya. Saya turun, mengejarnya. Tapi pria itu sudah di ujung jalan yang menurun. Di sana, ada dua orang (satu wanita bule) yang menyapa.Dari atas, saya melihat, Mbah Marijan melambaikan tangan. Membuat gerakan penolakan dengan tangan itu. Si wanita bule membawa kamera. Ya. Siapapun tahu, Mbah Marijan agak tidak senang difoto-foto. Apalagi difoto untuk keperluan pemberitaan. Dan, pemberitaan itu menyangkut Merapi. Pasti deh, Mbah Marijan emoh.Saya menunggu dia naik. Tapi lama. Laki-laki tinggu kurus mendekat. Dia anaknya Mbah Marijan. Namanya Mas Asih. Ngobrol sebentar. Diantar ke tempat duduk. Tidak tahu, Mbah Marijan sudah naik dan menghilang di rumah induk. Datang lagi, laki-laki tua itu menemui dengan pakaian yang sudah rapi.Seperti saat menemui siapapun, Mbah Marijan pakai kopiah, baju batik lengan panjang, dan sarung. Sambutan pertama adalah tawanya. Lalu, mengulurkan tangan, memberi salam. Saya mendekat, meraih tangannya, mencium punggung jemarinya. Ini, kebiasaan jika saya ketemu dia. Juga kebiasaan anak-anak pecinta alam yang datang, minta restu untuk naik ke Merapi.“Kok danggu mboten ketingal?” Nah, ini juga kalimat yang khas. Ingatan Mbah Marijan sangat kuat. Kepada orang-orang yang sering datang padanya, selalu diingat. Dan, kalimat pertama yang ditanyakan adalah kok lama tidak kelihatan.Melihat keramahan itu, ingatan kembali ke ujung tahun 90-an, pertama kali saya ketemu dia. Tidak banyak yang berubah. Tawanya, sapanya, atau kelakar-kelakarnya. Yang paling legendaries, jika tertawa, dua telapak tangan Mbah Marijan, spontan akan menutupi mulutnya. Semua orang tahu itu.Tapi buat saya, yang paling mengesankan adalah garis-garis di dekat bibir, memanjang ke pipi, jika dia tertawa. Melihat itu, seper

Tidak ada komentar:

Posting Komentar