Jumat, 20 Februari 2009

Rambut wanita

Dibalik jilbab yang menutupi, rambut perempuan pun memiliki “aturan main” tersendiri dalam merawatnya.

Bagaimanapun, dibalik dalil – dalil ihwal rambut perempuan, pastilah ada hikmah atau maksud tersembunyi. Prof. DR. M. Quraiys Shihab Dalam Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu dan cendekiawan Kontemporer, mahkota yang dibangggakan perempuan itu, dalam Islam tidak di perkenankan dipertontonkan ke khalayak. Sebab dalam Islam setiap muslimah diperintahkan untuk menutupi auratnya

( dalam hal ini rambut ) dengan maksud menjaga kehormatan dan kesucian kaum muslimah tentunya.

Seiring dengan adanya keharusan menutup kepala ( baca : jilbab ), seiring itu pula sebenarnya terdapat hukum – hukum tertentu yang menyangkut rambut perempuan. Beberapa diantaranya adalah larangan memotong atau memendekkan rambut, menyambung rambut atau memakai rambut palsu, memakai sanggul dan mewarnai rambut.

Memotong atau memendekkan rambut

Syaikh Kamil Muhammad ’uwaidah dalam Fikih Wanita menyatakan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita mencukur rambutnya kecuali karena suatu hal yang mengharuskan untuk itu. Sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Tarmidzi dan an-Nasa’I menyebutkan, ” Dari Ali Bin Abi Thalib ra berkata :

” Rasulullah saw telah melarang wanita mencukur rambutnya ”. Apalagi jika gaya atau model potongan rambut muslimah tersebut menyerupai laki – laki. Maka hukumnya Haram dan termasuk dosa besar. Sebab dalam sebuah Hadits yang lain dikatakan, bahwa Rasulullah melaknat perempuan yang menyerupai laki – laki. Dengan demikian pula menjadi haram jika model potongan rambut kaum muslimah menyerupai model rambut wanita kafir. Kendati begitu, sebenarnya jika model potongan rambut tidak sampai menyerupai laki – laki, ulama berbeda pendapat.

Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal memakruhkannya, baik daribagian rambut depan maupun dari rambut bagian belakang. Memendekkan rambut dihukumi boleh jika dalam keadaan darurat. Misalnya, khawatir menimbulkan penyakit atau alasan –alasan yang menimbulkan madharat. Selain dari tujuan yang memadharatkan, banyak ulama yang memfatwakan haram.

Berbeda dari keterangan- keterangan demikian, KH Ali Mustofa Ya’qub, salah seorang pakar hadist di Indonesia membantah keras bahwa dalil larangan memotong atau memendekkan rambut itu ditunjukkan pada rambut kepala. ”Kalau tidak dipotong, bisa –bisa sampai 50 meter dong! ” kelakarnya.

Menurut pimpinan Ma’had ’Ali Darus Sunnah, Ciputat, tersebut yang dimaksud rambut di situ sebenarnya adalah (rambut) alis. Alis dilarang dicabut, dicukur, dipotong. Efek dari hal ini adalah merubah ciptaan Allah. Karena itu dilarang.

Menyambungkan Rambut (wig) dan Sanggul

Larangan keras terjadi juga bagi muslimah yang menyambung rambut, atau yang sekarang dikenal dengan wig (rabut palsu). Ulama bersepakat mengharamkan berdasarkan hadist nabi saw dengan tingkatan derajat sahih.”Dari Aisyah ra sesungguhnya seorang wanita dari Anshar menikahkan anak perempuannya, maka dia memotong rambutnya. Lalu dia datang kepada nabi saw seraya berkata,’ wahai rasulullah, sesungguhnya saya menikahkan anakku, namun suatu penyakit menimpanya dan merusak kepalanya, sementara suaminya memintaku untuk menyambung rambutnya?

Maka rasullullah bersabda ’tidak boleh!” Sungguh telah dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan.”( HR Bukhari Muslim)

Dalam hadist lain, ” Dari Asma” binti Abu Bakr as Shiddq berkata, pernah ada seseorang wanita datang kepada rasullullah seraya bertanya ya,”wahai rasullulah, aku mempunyai seorang putri yang terserang penyakit, sehingga rambutnya rontok, apakah berdosa jika menyambung rambutnya?” Beliau menjawab , ’ Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya.”(HR Muttafaqun ’alaih).

Imam Malik dan Abu Hanifah juga melarang penyambungan rambut baik itu disambung oleh seorang wanita, dengan rambut atau bulu hewan dan sebaliknya. Bahkan Ibnu Hazm menghukumi dosa besar bagi pelakunya.

Selain dalal(hadist), alasan pelarangan ini, tambah KH Ali Mustofa Ya’qub, disebabkan setidaknya karena dua faktor. Pertama, adanya unsur penipuan.Yang dimaksud menipu, misalnya perempuan berkepala botak atau sedikit rambutnya harus menutupinya dengan wig. Agar tampil cantik, ia merekayasa dengan memakai wig. Kedua, mutlak diharamkan tanpa adanya ’illat(alasan) apa pun. Begitu juga dengan perempuan yang memakai sanggul . Pada dasarnya, jika semua faktor tersebut menyebabkan unsur tipu daya, maka hukumnya haram. Lagi pula, dengan memakai wig atau sanggul, teretntu mereka mengesampingkan esensi bagi kaum muslimah, yakni berjilbab.

Ihwal penyemiran rambut , banyak ulama membolehkannya, jika dengan selain semir warna hitam. Mengapa? Warna hitam dinisbatkan sebagai warna rambut asli . Khawatir merubah ciptaan Allah.

Adapun kebiasaan sebagian besar perempuan, khususnya yang berambut panjang, seperti mengepang, menyisir, menguncir, atau menggelungnya, dinyatakan boleh. Sebab tak ada dalil yang melarang. Selain itu, aktifitas menata rambut seperti ini, selain tidak menimbulkan unsur muslihat, juga tidak sampai mengubah ciptaan Allah. Bahkan dari sisi perawatan ada Rukhshah bagi perempuan yang senang mengepang rambutnya. Yakni ketika dia hendak berwudhu atau bersuci, Nabi saw membenarkan untuk tidak melepasnya. Namun cukup menyiramnya saja dengan air sampai rata sebanyak 3X.sebagaimana dinyatakan dalam beberapa riwayat.

Diantaranya diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, ”Saya bertanya, wahai Rasulullah. Sesungguhnya saya adalah seorang wanita yang mengikatkan jalinan rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskannya saat mandi junub?” Rasul menjawab ”Tidak, cukup bagimu untuk menuangkan kepadanya 3X siraman kemudian meratakan air keseluruh badan, maka kamu telah suci”. ( HR. Muslim, at – Tarmidzi, Abdurrazaq, al – Baihaqi dalam Sunan-nya).

Apapun koridor yang berlaku, sebenarnya terdapat pesan bahwa kaum muslimah sudah selayaknya merawat mahkotanya itu dengan sebaik – baiknya, namun jangan sampai berlebih – lebihan, apalagi sampai melanggar ketentuan syara’( Hidayah Edisi78, Hal : 46 – 49).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar